PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI

PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI 

DIAJUKAN UNTUK MELENGKAPI TUGAS MATA KULIAH PILIHAN KORPORASI
Oleh : Ilham Fauzi

Pendahuluan  
KUHP yang berlaku sekarang ini adalah KUHP warisan pemerintah kolonial belanda[1]. Berdasarkan pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, maka semua perundang-undangan yang masih ada langsung berlaku selama belum diadakan peraturan yang baru dan sepanjang tidak bertentangan dengan UUD 1945, yang kemudian dipertegaskan dengan Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 1945, dimana penetapan KUHP Hindia Belanda dalam sistem hukum indonesia dilakukan dengan UU No.1 Tahun 1946 jo UU No 73 Tahun 1958.

Dalam hukum pidana dikenal Hukum Pidana di luar Kodifikasi[2], yang berarti pengaturan kejahatan di luar kitab Undang-undang Hukum Pidana. Dalam hukum pidana di luar kondifikasi[3]tersebut korporasi merupakan salah satu dari subyek hukum pidana. Dalam perkembangannya pertanggung jawaban korporasi tidak hanya dimintakan bagi korporasi yang berbadan hukum.

Bahwa yang dimaksud dengan korporasi adalah kumpulan dagang yang berbadan hukum. Jadi dibatasi bahwa korporasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara pidana adalah korporasi yang telah berbadan hukum. Alasannya adalah bahwa dengan berbadan hukum, telah jelas susunan pengurus serta sejauh mana hak dan kewajiban dalam korporasi tersebut. Sedangkan korporasi tidak perlu harus berbadan hukum, setiap kumpulan manusia, baik dalam hubungan suatu usaha dagang ataupun usaha lainnya, dapat dipertanggungjawabkan secara pidana[4].

Berkaitan dengan korporasi dapat betanggung jawab terhadap tindak pidana, maka ini tidak terlepas dari tindak pidana korupsi yang di lakukan oleh korporasi[5].  Dalam kamus lengkap Webster’s Third New International Dictionary, korupsi adalah “ajakan (dari seseorang pejabat politik) dengan pertimbangan-pertimbangan yang tidak semestinya (misalnya suap untuk melakukan pelanggaran tugas[6].

Tindak pidana korupsi terus melanda negeri ini, korupsi tidak lagi hanya dilingkaran eksekutif (di zaman soeharto) yang dulunya di caci maki sehingga munculnya pergantian orde baru ke Reformasi. Alhasil keiginan luhur tersebut di cederai oleh seluruh lembaga negara (legesltatif, eksekutif dan yudikatif) yang hampir menghiasi dunia televisi dimana para pejabat negara melakukan tindakan korupsi[7].

Dalam perkembangannya tindak pidana korupsi tidak lagi di lakukan perorangan melainkan ada suatu kemajuan yang negatif  tindak pidana korupsi dapat di lakukan oleh korporasi[8]. Sehingga perbuatan pidana tidak hanya mejadi tanggungjawa perorangan melainkan dapat di pertanggung jawabankan oleh korporasi. Sehingga pertanyaan yang mucul bagaimana kreteria koroporasi yang dapat di pertanggung jawabakan terhadap suatau tindak pidana korupsi. Misalnya dalam Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1955 Tentang Pengusutan, Penuntutan Dan Peradilan Tindak Pidana ekonomi. Suatu tindak pidana kejahan ekonomi dapat di pertanggung jawabkan ke perorangan maupun suatu badan hukum (korporasi).

Mengingat penerapan korporasi sebagai subjek hukum pidana yang dituntut dan dijatuhi pidana masih jarang diterapkan oleh penegak hukum. Dalam hal ini, penerapan korporasi sebagai pelaku delik atau subjek hukum tindak pidana oleh Penegak Hukum khususnya Penyidik dan Penuntut Umum masih mengalami kesulitan dalam meminta pertanggungjawaban pidana korporasi. Untuk itu dibutuhan suatu kajian akademik untuk mengetahui penuntutan dan pemidanaan korporasi sebagai terdakwa tindak pidana korupsi. Makalah  ini ingin mengkaji penuntutan dan pemidanaan korporasi  dalam tindak pidana korupsi dan kendala penerapannya dalam praktik hukum.

Oleh karena itu, untuk memahami kejahatan korporasi, maka pertama-tama kita harus melihat kejahatan korporasi sebagai kejahatan yang bersifat organisatoris, yaitu suatu kejatahan yang terjadi dalam konteks hubungan-hubungan yang kompleks da harapan-harapan di antara dewan direksi, eksekutif dan manajer disatu sisi dan di antara kantor pusat, bagian-bagian dan cabang-cabang di sisi lain[9]

Dengan diterimanya korporasi sebagai salah satu subjek hukum disamping subjek hukum manusia alamiah (natuurlijke persoon), maka kajian  tentang hal ini menjadi semakin menarik oleh karena kejahatan yang dilakukan korporasi berdasarkan penelitian-penelitian yang dilakukan mengungkapkan bahwa sebagian besar masyarakat kurang mengenalnya atau sekaligus kurang menyadari bahaya yang ditimbulkan oleh kejahatan ini. Akar ketidaktahuan masyarakat ini adalah karena ketidak nampakan kejahatan korporasi yang disebabkan oleh kompleksnya kecanggihan perencanaan dan pelaksanaannya, oleh tidak adanya atau lemahnya penegakan dan pelaksanaan hukum, dan oleh lenturnya sanksi hukum dan sanksi sosial.

Untuk memperkecut permasalahan yang akan di bahas dalam makalah ini, maka penulis akan menguraikan 4 rumusan masalah yang akan di bahas, yakni :
1)     Apakah yang di maksud dengan korporasi
2)     Pertanggungjawaban korporasi dalam hukum pidana
3)     Bagaimanakah formulasi aturan pemidanaan (pertanggungjawaban pidana) korporasi tindak pidana korupsi saat ini

Pengertia Korporasi

Perkembangan korporasi di Indonesia dimulai dengan berdirinya VOC yang didirikan oleh belanda pada tahun 1602 dapat di pandang sebagai perintis korporasi (bisnis) modren yang di bangun dengan modal (saham) yang tetap. Secara umum korporasi memiliki lima ciri penting yaitu[10]:
a.       Merupakan subyek hukum buatan yang memiliki kedudukan hukum khusus
b.      Memiliki jangka waktu hidup yang tak terbatas
c.       Memperoleh kekuasaan (dari negara) untuk melakukan kegiatan bisnis tertentu
d.      Dimiliki oleh pemegang saham
e.       Tanggung jawab pemegang saham terhadap kerugian korporasi biasanya sebatas saham yang dimilikinya.
Menurut Soetan K. Malikoel Adil dalam bukunya Pembaharuan Hukum Perdta Kita mengatakan secara terminologi tentang kata korporasi (Belanda : corporatie, inggris : corporotion, jerman : korporation) berasal dari kata “coporatio” dalam bahasa latin. “Tio” merupakan sebagai kata benda (substantivum), berasal dari kata kerja corporare, yang banyak dipakai orang pada zaman abad petengahan atau sesudah itu. Corporare sendiri berasal dari kata “corpus” (indonesia = badan), yang berarti memberikan badan atau membadankan. Dengan demikian corporatio itu berarti hasil dari pekerjaan membadankan, dengan perkataan lain badan yang dijadikan orang, badan yang diperoleh dengan perbuatan manusia sebagai lawan terhadap badan manusia, yang terjadi menurut alam[11].

Menurut Utrech korporasi adalah suatu gabungan orang yang dalam pergaulan hukum bertindak bersama-sama sebagai suatu subjek hukum tersendiri suatu personifikasi. Korporasi adalah badan hukum yang beranggota, tetapi mempunyai hak dan kewajiban sendiri terspisah dari hak dan kewajiban anggota masing-masing. Dengan pengertian bahwa korporasi adalah sebuah pribadi buatan dengan sebuah kepribadian hukum yang secara penuh berbeda dan terpisah dari manusia-manusia sebagai anggota  yang melakukan pengendalian dan menjalankan korporasi melalui basis hukum perusahaan[12]

Di indonesia, perkembangan korporasi sebagai subjek hukum tindak pidana terjadi di luar kitab KUHP dalam perundang-undangan khusus. Adapun KUHP sendiri masih tetap menganut subjek hukum pidana adalah berpaka “orang”[13]. Dan dapat juga ditemukan terhadap undang-undang yang lainnya koroporasi merupakan bagian dari subjek hukum.

Adapun menurut Undang-Undang No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 butir 1 yang bunyinya :“ korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum”. Perkembangan perundang-undangan khusus di luar KUHP pidana, khusunya tentang subjek hukum pidana yaitu korporasi perumusannya lebih luas bila dibandingkan dengan pengertian korporasi menurut hukum perdata, menurut hukum pidana pnegetian korporasi bisa berbentuk badan hukum dan tidak[14].

Kosep rancangan KUHP baru Buku I 2004-2005 pasal 182 yang menyatakan korporasi adalah kumpulan terorganisasi dan dari orang dan/atau kekaayaan baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.

Pertanggungjawaban korporasi dalam hukum pidana
Di pertanggungjawabkannya korporasi dalam hukum positif di Indonesia telah melalui 3 (tiga) tahap perkembangan yaitu tahap I menunjukkan bahwa keduanya hanya dapat dilakukan oleh manusia alamiah, perkembangan tahap II korporasi dapat melakukan tindak pidana tetapi yang dapat dipertanggungjawabkan hanya manusia alamiah dan tahap III baik manusia alamiah maupun korporasi dapat melakukan tindak pidana dan dapat dipertanggungjawabkan serta dipidana.

Sulit untuk menentukan suatu korporasi dapat bertanggung  jawab terhadap suatu tindak pidana yang di lakukan, karena indonesia sendiri menganut asas kesalahan. Artinya bahwa dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang tersebut telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum dan bersifat melawan hukum, tapi pada pelaku harus ada unsur kesalahan, atau yang dikenal dengan asas tiada pidana tanpa kesalahan (Geen straf zonder schuld; keine strafe ohne schuld)[15].

akan tetapi ada beberapa teori yang dapat dipergunakan untuk menetukan dasar-dasar yang patut, agar korporasi dapat dimintai pertanggung jawaban pidana. Adapun terorinya Pertanggung jawaban atas kesalah (liability based on fault). Teori in pada prinsipnya mengatakan bahwa setiap subjek hukum dapat dimintai pertanggungjawaban pidana bila terlebih dahulu dapat di buktikan adanya suatu kesalahan atau dikenal dengan istilah mens rea[16].

Hal ini sejalan dengan apa yang dianut oleh pandangan monistis tentang strafbaar feit atau criminal act berpendapat, bahwa unsur-unsur pertanggung jawaban pidana yang menyangkut pembuatan delik yang meliputi[17]:
Ø  Kemampuan bertanggung jawab
Ø  Kesalahan dalam arti luas, sengaja dan / atau kealpaan
Ø  Tidak ada alasan pemaaf

Di Indonesia peraturan perundang-undangan yang mengawali penempatan korporasi sebagai subjek tindak pidana dan secara langsung dapat dipertanggungjawabkan adalah UU No. 7 Drt Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan Dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi, khususnya dalam Pasal 5 ayat (1) yang berbunyi : “Jika suatu tindak pidana ekonomi dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum, suatu perseroan suatu perserikatan orang yang lainnya atau suatu yayasan, maka tuntutan pidana dilakukan dan hukuman pidana serta tindakan tata tertib dijatuhkan baik terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan atau yayasan itu, baik terhadap mereka yang memberi perintah melakukan tindak pidana ekonomi itu atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan atau kelalaian itu atau terhadap kedua-duanya ”.Kemudian selanjutnya di ikuti dengan Pasal 20 UU No 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi yakni :
(1) Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurusnya.
(2) Tindak pidana Korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama.
(3) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi, maka korporasi tersebut diwakili oleh pengurus.
(4) Pengurus yang mewakili korporasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat diwakili oleh orang lain.
(5) Hakim dapat memerintahkan supaya pengurus korporasi menghadap sendiri di pengadilan dan dapat pula memerintahkan supaya pengurus tersebut dibawa ke sidang pengadilan.
(6) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, maka panggilan untuk menghadap dan penyerahan surat panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau di tempat pengurus berkantor.
(7) Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya pidana denda, dengan ketentuan maksimum pidana ditambah 1/3 (satu pertiga).

Formulasi Aturan Pemidanaan (Pertanggungjawaban Pidana) Korporasi Tindak Pidana Korupsi Saat Ini
Korporasi sebagai pelaku tindak pidana, dalam hukum positif sudah diakui bahwa korporasi dapat dipertanggung jawabkan secara pidana, walupun dalam perkembangan di Negara Belanda untuk menentukan korporasi sebagai pelaku tindak pidana berdasarkan pada Arrest “Kleuterschool Babble”. Yang menyatakan bahwa perbuatan dari perorangan/ orang pribadi dapat di bebankan pada badan hukum/korporasi, apabila perbuatan tesebut tercermin dalam lalu lintas sosial sebagai perbuatan dari badan hukum[18].

Seperti apa yang di bahas sebelumnya dipidananya pengurus saja tidak dapat memberikan jaminan yang cukup bahwa korporasi tidak akan sekali lagi melakukan perbuatan yang dilarang oleh undang-undang. Tim Pengkajian Bidang Hukum Pidana Badan Pengkajian Hukum Nasional, dalam laporan hasil Pengkajian Bidang Hukum tahun 1980/1981 menyatakan bahwa : “jika dipidananya pengurus saja tidak cukup untuk mengadakan represi terhadap delik-delik yang dilakukan oleh atau dengan suatu korporasi karena delik itu cukup besar atau kerugian yang ditimbulkan dalam masyarakat atau saingan-saingannya sangat berarti.

Dalam KUHP yang berlaku sekarang ini, korporasi tidak dikenal sebagai subjek hukum pidana, dalam merumuskan sanksi pidana dikenal “double track system” (sistem dua jalur), yaitu di samping sanksi pidana dikenal juga tindakan yang dapat dikenakan pada pelaku. Sanksi pidana diatur dalam pasal 10 KUHP yang bunyinya : “Pidana terdiri atas : a. Pidana pokok : 1. pidana mati, 2. pidana penjara, 3. kurungan, 4. denda, dan 5. pidana tutupan (berdasarkan UU No. 20 Tahun 1946 Berita RI II No. 247). b. Pidana tambahan : 1. pencabutan hak-hak tertentu, 2. perampasan barang-barang tertentu, 3. pengumuman keputusan hakim.”

Dari uraian diatas dalam konsep KUHP yang sekarang korporasi hanya dapat dijatuhi hukum denda, dikarenakana KUHP sekarang tindak mengenal korporasi sebagai subjek hukum. Dalam KUHP Indonesia jika denda tidak dibayar maka dapat dikenakan pidana kurungan pengganti denda (Pasal 30 ayat (2) KUHP), sedangkan pidana kurungan tidak dapat dijatuhkan pada korporasi. Hal ini merupakan masalah yang harus dipertimbangkan dalam merumuskan sanksi pidana untuk korporasi dalam peraturan pidana yang tersebar di luar KUHP.

Menurut Prof. Dr. Muladi, S.H.dan Prof. Dr. Dwijaya Priyanto, S.H.,M.H. menyatakan dalam bukunya “Pertanggungjawaban Pidana Korporasi”.Saksi yang dapat dijatuhkan pada korporasi adalah a. Pidana denda, b. Pidana tambahan berupa pengumuman putusan pengadilan, c. Pidana tambahan berupa penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan, tindakan administratif berupa pencabutan seluruhnya atau sebagian fasilitas tertentu yang telah atau dapat diperoleh perusahaan di bawah pengampuan yang berwajib, d. Saksi perdata (ganti kerugian).

Ø  Konsep pemidanaan korporasi terhadap tindak pidana korupsi
Dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK) Pasal 20 atay 2 menyebutkan : “Tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama ”[19].

Sedangkan dalam Dalam Pasal 20 ayat (1) UU No 31 Tahun 1999 diatur bahwa : “Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh atau atas nama korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurusnya ”. Jadi yang dapat dipertanggungjawabkan adalah : Koporasinya, Pengurusnya, Korporasi dan pengurusnya. Maka tindak pidana korupsi yang dapat dilakukan oleh korporasi, adalah tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1), Pasal 3, Pasal 5 ayat (1),Pasal 6 ayat (1), Pasal 7, Pasal 13, Pasal 15 dan Pasal 16 UU No 31 Tahun 1999 Jo UU No 20 Tahun 2001.

Pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada korporasi hanya pidana denda, yang maksimumnya ditambah/diperberat 1/3 (satu pertinga) (pasal 20 ayat (7).ketetntuan tersebut cukup wajar sebab dari dua jenis pidana pokok yang diancamkan, yaitu penjara dan denda, hanya pidana denda yang cocok dan dapat dterapkan untuk korporasi. Akan tetapi, juga dapat dipertimbangkan sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (1) dapat diterapkan terhadap korporasi yaitu saksi berupa penutupan perusahaan hak/izin usaha[20].

Ø  Konsep sanksi pidana dalam pendekatan restoratif[21]
Dalam konsep ini pemidanaan tidak mengenal pembalasan akan tetapi lebih kepada pemulihan. Adapun konsep pemidanaan dalam pendektan restoratif adalah yang pertama. Restitusi (penganti kerugian) menurut Dr. Rufinus Hotmaulana Hutauruk, S.H, M.M, M.H. menyatakan bahwa konsep penerapan saksi yang bersifat restitusi sangan baik dan cocok untuk diterapkan terhadap korporasi, karena walaupun sifat dan akibat tindak pidana korporasi dapat menimbulkan kerugian immateriil tetapi biasanya kerugian yang timbul akibat tindak pidana koroporasi adalah kerugian yang bersifat materiil yang dapat dibayar melalui saksi yang bersifat restitusi.

Kesimpulan
Adapun konsep kedua program kerja sosial adalah ditekankan bahwa pelanggar harus membayar kerugian tak langsung kepada suatu masayarakat melalui kerja bakti (pekerjaan tak dibayar) yang bermanfaat bagi masyarakat. Adanpun konsep ketiga kompensasi terhaap korban yakni pembayaran terhadap korban yang menjadi suatu bagian dari proses penyelesaian tindak pidana dan sekaligus menciptakan kondisi yang lebih bik bagi korban maupun bagi pelaku dan lingkungannya,

Korporasi adalah badan hukum yang beranggota, tetapi mempunyai hak dan kewajiban sendiri terspisah dari hak dan kewajiban anggota masing-masing. Dengan pengertian bahwa korporasi adalah sebuah pribadi buatan dengan sebuah kepribadian hukum yang secara penuh berbeda dan terpisah dari manusia-manusia sebagai anggota  yang melakukan pengendalian dan menjalankan korporasi melalui basis hukum perusahaan.

Saksi yang dapat dijatuhkan pada korporasi adalah a. Pidana denda, b. Pidana tambahan berupa pengumuman putusan pengadilan, c. Pidana tambahan berupa penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan, tindakan administratif berupa pencabutan seluruhnya atau sebagian fasilitas tertentu yang telah atau dapat diperoleh perusahaan di bawah pengampuan yang berwajib, d. Saksi perdata (ganti kerugian).

Permasalahannya adalah denda untuk korporasi yang tidak dibayar oleh korporasi hal ini dapat menimbulkan masalah karena apabila denda tidak dibayar tunduk pada ketentuan pasal 30 KUHP, yaitu diganti dengan kurungan pengganti denda selama enam bulan, dan ini tidak dapat diterapkan terhadap korporasi dan hanya dapat diterapkan terhadap subjek tindak pidana berupa orang.

ditulis 30 April 2014

DAFTAR PUSTAKA
BUKU
1.   Andi Hamzah,  Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia,  Jakarta,  Ghalia Indonesia, 1984.
2.      Susanto,  KRIMINOLOGI, Yogyakarta, Genta Publishing,  2011.
3.      Rubert Klitgaard, Membasmi Korupsi, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2005.
4.    Agus Rolis, Skripsi Pertanggung Jawaban Korporasi Dalam Tindak Pidana Hak Ciptas, Fakultas Hukum Umy 2005.
5.      Muladi, Pertanggungjawabana Pidana Korporasi, Jakarta, Kencana, 2010.
INTERNET





[1]Lebih jauh Erdianto Efendi, SH., M.Hum, Hukum Pidana Indonesia suatu pengantar, Refika Aditama, Bandung, 2011, Hlm.55. menyatakan : Hukum pidana belanda wetboek van strafrech voor europeanen mulai berlaku di indonesia tanggal 1 januari 1867 dan untuk orang bukan Eropa berlaku Wetboek Van Strafrecht Voor Inlander yang dinyatakan mulai berlaku tanggal 1 januari 1873 yang konkordan dengan WvS untuk golongan Eropa saja dengan sedikit perbedaan. Pada tahun 1915 dengan Koningkelijke Besluit disahkan Wetboek Van Strafrecht Voor Nederlands indie yang mualai berlaku tanggal 1 januari 1918.
[2]Lebih lanjut di jelaskan dalam KUHP Pasal 103 yang berbunyi Ketetuan-ketentuan dalam Bab I sampai Bab VIII buku ini juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan lainnya diancam dengan pidana, kecuali jika oleh undang-undang ditentukan lain.
[3]seperti UU No.31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut UUPTPK), juncto UU No.20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang- Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
[4]Orpa Ganefo Manuain, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Tindak Pidana Korupsi, Program Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang 2 0 0 5. Http://Eprints.Undip.Ac.Id/18651/1/Orpa_Ganefo_Manuain.Pdf. Tesis 1
[5] Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum (UU 31 tahun 1991 Pasal 1 ayat 1) .
[6] Robert Klitgaard, Membasmi Korupsi, Yayasan Obor Indonesia, 2005, jakarta, hlm.29.
[7]upaya penanggulangan tindak pidana (kebijakan kriminal) pada umumnya, khususnya tindak pidana korupsi, dapat ditempuh dengan menggunakan sarana penal dan sarana non penal. Upaya penal yang sudah dilakukan yaitu dengan keluarnya berbagai produk perundang-undangan pemberantasan tindak korupsi, sedangkan upaya non penal yang sudah dilakukan adalah penayangan koruptor di media televisi
[8]Kejahatan korporasi di indonesia semangkin meningkat karena peranan pemerintah melalui peraturan yang memberikan kemudahan berusaha dan fasilitas lainnya, juga karena sifat korporasi yang cenderung ekspansif. Usaha mendorong pertumbuhan dan perkembangan korporasi ini adalah sejalan dengan tuntutan dalam memenuhui tahapan-tahapan pembangunan yakni dengan meletakkan dasar-dasar pembangunan industri dalam menyongsong era pembangunan jangka panjang. Disamping itu adanya pengaruh globalisasi pada beberapa tahun belakangan
[9] Susanto, Kriminilogi, Yogyakarta, Genta Publising, 2011, Hlm.191
[10]Susanto, Op.Cit., hlm.149
[11] Muladi, pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Jakarta, Fajar Interpratama Mandiri, 2010, hlm.23.
[12] Rufinus Hotmaulana Hutauruk, Penganggulangan Kejahatan Korporasi Melalui Pendekatan Restoratif Suatu Terobosan Hukum, Jakarta, Sinar Grafika, 2013, hlm.21.
[13] Pasal 59 KUHP menyebutkan : dalam hal-hal di mana karena pelanggaran ditentukan pidana terhadap pengurus, anggota-anggota badan pengurus atau komisaris-komisaris, maka pengurus, anggota badan pengrus atau komisaris yang ternyata tidak ikut campur melakukan pelanggaran tidak pidana.
[14] Rufinus Hotmaulana Hutauruk. Opcit., hlm. 34
[15]Diatur dalam Pasal 1 KUHP yang berbunyi : (1) tiada suatu perbuatan dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada sebelumnya. (2) jika ada perbuatan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterpakan ketentuan yang paling menguntungkan.
[16] Ibid,. Hlm. 54
[17] Muladi, Opcit,. Hlm 65
[18] Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1984, hlm.263.
[19]Jadi suatu tindak pidana korupsi dipandang telah dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang : yang berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan lain. bertindak dalam lingkungan korporasi, baik sendiri maupun bersama-sama.
[20] Muladi, Opcit,. Hlm 174
[21] Rufinus Hotmaulana Hutauruk. Opcit., hlm. 182.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama