IMPLEMENTASI PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK JALANAN YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM

IMPLEMENTASI PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK JALANAN YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM

Oleh : Ilham Fauzi

PENDAHULUAN

Dalam konsideran Undang-undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dijelaskan bahwa Anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Lebih lanjut dijelaskan bahwa anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan. Oleh karena itu agar setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab tersebut, maka ia perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial, dan berakhlak mulia, perlu dilakukan upaya perlindungan serta untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi.

Keberadaan anak jalan (ANJAL) yang hidupnya jauh dari kewajaran, akan berdampak resiko yang begitu besar. Sebut saja mereka ANJAL menjadi objek kekerasan fisik orang dewasa yang biasanya sama-sama bekerja di perempatan jalanan (traffic light), menjadi objek kekerasn fisik oleh petugas ketertiban umum (polisi, satpol PP). Begitu juga dalam hal kekeran emosional (dimarahi, dicacimaki, dibentak dan lain-lain), kekerasn seksual dan kekerasan sosial yang biasanya dalam bentuk eksploitasi.  Tentu dengan masalah-masalah yang penulis sebut akan berdampak terhadap perkembangan perilaku anak. Bahkan dekat kemungkinan anak-anak jalanan tersebut  akan melakukan perbuatan yang  pernah ia alami sebelumnya, sehingga ini akan menajadi mata rantai yang tidak bisa diputus.

Permasalah anak jalanan (ANJAL) sudah sangat lama berakar di negeri ini, seakan kunjung tidak berhenti. Sebut saja Krisis multidimensi yang mendera Indonesia sajak tahun 1997 sangat memukul kehidpan anak (Suharto, 2004), sejak tahun 1999 jumlah anak jalanan di indonesia meningkat 85%, di DKI Jakarta misalnya pada tahun 2002 jumlah anak jalanan diperkirakan sekitar 150.000-300.000 yang berasal dari sekitar Jabotabek (42%), jabar (19), Pulau Jawa (27%), Luar Jawa (12%). Menurut BPS pada Tahun 2002 terdapat 3.488.309 anak terlantar usia 5-18 tahun, belita terlantar 1.178.82, dan anak nakal 193.155 yang tersebar di 30 provinsi. Anak yang membutuhkan perlindungan khusus 6.686.936 dan yang potensial terlantar 10.322.674. usia anak 13-15 tahun yang tidak sekolah juga meninggkat  tiga kali lipat (300%). Akibatnya terdapat 2-8 juta anak yang bekerja ................ lebih parah lagi sekitar 36.500.000 anak indonesia di bawah garis kemiskinan.[1]

Kehadiran anak-anak di jalanan adalah suatu yang dilematis, disatu sisi mereka dapat mencari nafkah dan mendapatkan pendapatan (income) yang membuatnya bisa bertahan hidup (survival) dan dapat menopang kehidupan keluarga. Namun disisi lain mereka acapkali melaukan tindakan yang tidak terpuji seperti sering berkata kotor, mengangu ketertiban jalan. Misalnya : memaksa pengemudi kendaraan bermotor memberikan uang, merusak body mobil dengan goresan, dan melakukan tindakan kriminal lainnya.[2]

Masalah anak jalanan tidak dapat dilepaskan dari : Pertama, masih berlangsungnya “kemiskinan strutural di dalam masyarakat kita; Kedua, semangkin terbatasnya tempat bermain anak karena pembangunan yang semakin tidak mempertimbangkan kepentingan dan perlindungan anak; Ketiga, semakin meningkatnya gejala ekonomi upah dan terbukanya peluang bagi anak untuk mencari uang dari jalanan; Keempat, keberadaan anak jalanan tersebut telah dirasakan oleh sementara masayarakat sebagai suatu bentuk gangguan[3]

Anak jalanan disebut juga Anak terlantar adalah anak yang tidak terpenuhi kebutuhannya secara wajar, baik fisik, mental, spiritual, maupun sosial dan ini merupakan bagian dari tugas negara yang telah diamanatkan oleh Konstitusi yakni “Fakir Miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara”[4]. Anak yang hidup dari kewajaran yang seharusnya ia miliki, baik dalam pola asuh yang tidak ada perhatian dari ibunya atau ayahnya dan bahkan keluarganya sehingga yang seharusnya hak-hak yang diberikan, baik dalam hal pendidikan, kesehatan dan kehidupan sosial yang susuai dengan umurnya yang menjadikan anak tersebut hidup dijalanan tanpa arah tujuan. 

Berdasarkan Undang-Undang No 23 Tahun 2002 Pasal 1 ayat (2) Tentang Perlindungan Anak. menyebutkan “Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. 

Berdasarkan Undang-undang No 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH) adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana.

Ada dua katagori perilaku anak yang membuat ia harus berhadapan dengan hukum, yaitu :[5]
1.Status Offence adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan oleh orang dewasa tidak dianggap sebagai kejahatan, seperti tidak menurut, membolos sekolah atau kabur dari rumah
2.Juvenile Deliquencyadalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan oleh orang dewasa dianggap kejahatan atau pelanggaran hukum.

Namun sebenarnya terlalu ekstrim apabila tindak pidana yang dilakukan oleh anak-anak disebut dengan kejahatan, karena pada dasarnya anak-anak memiliki kondisi kejiwaan yang labil, proses kemantapan psikis mengahasilkan sikap kritis, agresif dan menunjukkan tingkah laku yang cenderung bertindak mengganggu ketertiban umum. Hal ini belum dapat dikatakan sebagai kejahatan, melainkan kenakalan yang ditimbulkan akibat dari kondisi psikologis yang tidak seimbang dan si pelaku belum sadar dan mengerti atas tindakan yang telah dilakukan anak.

Tentu dengan demikian, harus ada suatu keharusan perlindungan khusus terhadap anak-anak jalanan (ANJAL) yang berhadapan dengan hukum[6]. Apalagi mereka tidak mendapat pola asuh atau didikan yang baik, yang notabenenya kewajiban orang tua dan keluarnya. Sehingga apa bila ini tidak direspon dengan baik terhapan keadaan anak-anak jalanan (ANJAL) yang berhadapan dengan hukum akan menyempurnakan nasib mereka yang begitu miris.. Perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum, sebagai berikut :
  1. perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak-hak anak;
  2. penyediaan petugas pendamping khusus anak sejak dini
  3. penyediaan sarana dan prasarana khusus
  4. penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang terbaik bagi anak
  5. pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap perkembangan anak yang berhadapan dengan hukum
  6. pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua atau keluarga, dan perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi.

Konsep Perlindungan Hukum
Pengertian Perlindungan adalah tempat berlindung, hal (perbuatan dan sebagainya) memperlindungi.[7] Dalam Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga. Perlindungan adalah segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada korban yang dilakukan oleh pihak keluarga, advokat, lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan pengadilan.

Sedangkan perlindungan yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.2 Tahun 2002  Tentang tata cara perlindungan terhadap korban dan saksi dalam perlanggaran Hak Asasi Manusia yang berat adalah suatu bentuk pelayanan yang wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum atau aparat keamanan untuk memberikan rasa aman baik fisik maupun mental, kepada korban dan saksi, dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun, yang diberikan pada tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan atau pemeriksaan di sidang pengadilan.

Sedangkan hukum itu sendiri dalam teorinya. Menurut R. Soeroso SH, Hukum adalah “himpunan  peraturan yang dibuat oleh yang berwenang dengan tujuan untuk mengatur tata kehidupan bermasyarakat yang mempunyai ciri memerintah dan melarang serta mempunyai sifat memaksa dengan menjatuhkan sanksi hukuman bagi yang melanggarnya”. Menurut E. Utrecht dalam bukunya Pengantar dalam Hukum Indonesia : Hukum adalah “himpunan petunjuk hidup yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat dan seharusnya di taati oleh anggota masyarakat yang bersangkutan, oleh karena pelanggaran terhadap petunjujk hidup itu dapat menimbulkan tindakan dari pemerintah masyarakat itu”.[8]

Pengertian perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan terhadap subyek hukun dalam bentuk perangkat hukum baik yang bersifat preventif maupun yang bersifat represif, baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Dengan kata lain perlindungan hukum sebagai suatu gambaran dari fungsi hukum, yaitu konsep dimana hukum dapat memberikan suatu keadilan, ketertiban, kepastian, kemanfaatan dan kedamaian.[9]

Sedangkan dalam perlindungan hukum terhadap anak jalan yang berhadapan dengan hukum, ada dua aspek yang perlu kita ketahui. Pertama, bagaimana pengertian perlindungan anak di indonesia. Kedua, prinsip-prinsip perlindungan hak anak di indonesia.


1.Perlindungan Hukum Terhadap Anak
Kepedulian dunia terhadap anak  di tandai dengan sejarah  Perang Dunia I, yang pada waktu itu pihak yang paling banyak menderita adalah perempuan dan anak. Karena perempuan dan anak merasakan bagaimana pahitnya suami atau saudaranya hilang bahkan ikut juga terluka akibat Perang Dunia I.  Sehingga menjadi beban mental bagi yang mereka di tinggal sehingga muncul keprihatian nasib perempuan dan anak melalui berbagai macam aksi yang mendesak dunia memperhatikan secara serius nasib perempuan dan anak-anak tersebut.

Sebut saja di deklarasikannya Konvensi Hak Anak (Convention on the Right of The Child) oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 20 November 1989 (Resolusi PBB No. 44/25 tanggal 5 Desember 1989), sehingga pada saat itu anak-anak seluruh dunia meperoleh perhatian khusus dalam standar internasional. Sehingga indonesia sebagai anggota PBB meratifikasi Konvensi Hak Anak tersebut melalui Kepres No.36 Tahun 1990 yang menandakan bahwa indonesia secara nasional memiliki perhatian khsus terhadap hak-hak anak. Dengan ratifikasi tersebut perlindungan hak anak di indonesia dalam Undang-undang No 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak yang bersamaan dengan penetapan tahun 1979 sebagai “Tahun Anak Internasional”.

Seorang aktivis perempuan Eglantyne Jebb, yang kemudian mengembangkan butir-butir pernyataan tentang hak anak yang pada tahun 1923 diadopsi menjadi Save the Children Fun International Union, yang antara lain berupa[10]:
a)     Anak harus dilindungi di luar segala pertimbangan ras, kebangsaan dan kepercayaan
b)     Anak harus dipelihara dengan tetap menghargai keutuhan keluarga
c)      Anak harus disedikan sarana-sarana yang diperlukan untuk perkembangan secara normal, baik material, moral dan spritual
d)     Anak yang lapar harus diberi makan, anak yang sakit harus dirawat, anak cacat mental atau cacat tubuh harus didik, anak yatim piatu dan anak terlantar harus diurus/diberi pemahaman
e)     Anaklah yang pertama-pertama harus mendapatkan bantuan/pertolongan pada saat terjadi kesengsaraan
f)       Anak harus menikmati dan sepenuhnya mendapat manfaat dari program kesejahteraan dan jaminan sosial, mendapat pelatihan agar pada saat diperlukan nanti dapat dipergunakan untuk mencari nafkah serata harus mendapat perlindungan dari segala bentuk ekploitasi dan
g)     Anak harus diasuh dan di didik dengan suatu pemahaman bahwa bakatnya dibutuhkan untuk pengabdian kepada sesama umat,

Kemudian berbagai macam tuntutan agak anak diperhatikan secara khusus, sebutnya hak-hak anak dalam Piagam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia pada 10 Desember 1948  dalam Pasal 25 ayat 2 yang  menyebutkan : “ibu dan anak-anak berhak mendapatkan perhatian dan bantuan khusus. Semua anak, baik yang dilahirkan di dalam maupun di luar perkawinan, harus menikmati perlindungan sosial yang sama”.

Sedangakan dalam Undang-undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, Pasal 1 ayat 2 “Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Salah satu implementasinya adalah dengan pembentukan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).


Ditambah lagi dalam konstitusi indonesia dalam hal dengan perlindungan anak maka dalam Undang-Undang Dasar 1945 pada pasal 34 telah di tengaskan bahwa “fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara” hal ini menambah keseriusan dari pemerintah terhadap hak-hak anak dalam perlindugannya.

Dan banyak lagi Undang-undang yang berkaitan dengan perlindunanga anak, Sebut saja Udang-undang No 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan, Undang-undang No 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), Undang-undang  No 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Kepres RI No 59 Tahun 2002 Tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak, Kepres RI No 87 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Ekploitasi Seksual Komersial Anak, Kepres RI No 88 Tahun 2002 Tentang Rencana Aksi Nasional Pengahpusan perdagangan (trafficking perempuan dan anak)[11]. Menunjukkan secara yuridis indonesia telah berupaya secara maksimal dalam memberikan perlindungan terhadap hak anak yang menjadi tantangan terberat adalah implementasi dari berbagai macam aturan yang sudah ada.

2.Prinsip-Prinsip Perlindungan Anak di Indonesia
Dalam Undang-Undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak ada 4 prinsip umum perlindugan anak[12]:

A.Prinsip Nondiskriminasi
Dapat kita lihat tertuang dalam Undang-undang No 11 Tahun 2012 sistem peradilan anak berdasarkan asas nondiskriminasi (Pasal 2 butir c). Yang dimaksud dengan ”nondiskriminasi” adalah tidak adanya perlakuan yang berbeda didasarkan pada suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum Anak, urutan kelahiran Anak, serta kondisi fisik dan/atau mental[13].

Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa tujuan Pemerintah Negara Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Dalam rangka mewujudkan salah satu tujuan Pemerintah Negara Indonesia tersebut yaitu memberikan perlindungan dan kesejahteraan bagi anak, setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi sebagaimana tercantum dalam amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28B ayat (2). Ketentuan tersebut, mengandung arti bahwa anak mempunyai hak untuk dilindungi dari eksploitasi ekonomi dan bekerja pada pekerjaan yang membahayakan atau mengganggu pendidikan anak, merusak kesehatan fisik, mental, spiritual, moral dan perkembangan sosial anak. Pembinaan kesejahteraan anak termasuk pemberian kesempatan untuk mengembangkan haknya, pelaksanaannya tidak saja merupakan tanggung jawab orang tua, keluarga, bangsa, dan negara melainkan diperlukan pula kerja sama internasional.[14]

B.Pinsip Kepentingan Terbaik Bagi Anak (Best Interests of the child)
Yang dimaksud dengan ”kepentingan terbaik bagi Anak” adalah segala pengambilan keputusan harus selalu mempertimbangkan kelangsungan hidup dan tumbuh kembang Anak.[15]Menunjukkan bahwa dalam mengambil keputusan yang menyangkut masa depan anak, bukan dengna ukuran orang dewasa, apalagi berpusat kepada kepentingan orang dewasa. Apa yang menurut orang dewasa baik belum tentu itu terbaik baik anak.

Contohnya Dalam naskah akademik RUU Sistem peradilan anak. Diversi, adalah pengalihan penyelesaian perakara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Atau diversi adalah suatu pengalihan penyelesaian kasus-kasus anak yang diduga melaukan tindak pidana tertentu dari proses pidana formal ke penyelsaian damai antara tersangka/terdakwa/pelaku tindak pidana dengan korban yang difasilitasi oleh keluarga dan/atau masyarakat, pembimbing kemasayarakatan anak, polisi, jaksa atau hakim.[16]Ini merupakan bagian dari prinsip mengedepankan terbaik baik anak.

Begitu juga dalam proses sistem peradilan pidana anak, mulai dari tahap penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana tentu berbeda dengna tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa. Dan ini semata-mata untuk mengendepankan kepentingan anak.[17]

C.Prinsip Hak Hidup, Kelangsungan Hidup, Dan Perkembangan [18]
Untuk menjamin hidup tersebut bearti negara harus menyediakan lingkungan yang konsudusif, sarana dan prasarana hidup yang memadai, serta akses setiap hak unutjk memperoleh kebutuhan-kebutuahan dasar[19]

D.Pinsip Penghargaan Terhadap Pendapat Anak
Prinsip ini menegaskan bahwa anak memiliki otonomi kepribadian. Oleh sebab itu, dia tidak bisa hanya di pandang dalama posisi lemah, menerima, dan pasif, tetapi sesungguhnya dia pribadi otonom yang memiliki pengalaman, keinginan, imajinasi, obsesi yang belum tentu sama dengan orang dewasa.

Pengertian Anak Jalanan
Konsep “anak” didefinisikan dan dipahami secara bervariasi dan berbeda, sesuai dengan sudut pandang dan kepentingan yang beragam. Menurut UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Untuk menentukan batas usia dalam hal definisi anak, maka kita akan mendapatkan berbagai macam batasan usia anak mengingant beragamnya definisi batasan usia anak dalam beberapa undang-undang yaitu :
1.      UU No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan, mensayaratkan usia perkawinan 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki
2.      UU No.4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan anak mendefinisikan anak berusia 21 tahun dan belum pernah kawin
3.      UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun dan belum pernah kawin.

Dalam loka karya kemiskinan dan anak jalanan, yang dilaksanakan Depertemen sosial tanggal 25-26 Oktober 1995, anak jalanan ialah anak yang mengahabiskan sebagian waktunya untuk mencari nafkah atau berkeliaran di jalanan dan tempat-tempat umum lainnya.[20] Menurut lisa (1996) anak jalanan adalah anak-anak yang bekerja di jalanan. Studi yang dilakukan oleh Soedijar (1989/1990) menunjukkan bahwa anak jalanan adalah anak yang berusia antara 7-15 tahun yang bekerja di jalanan dan dapat mengganggu ketentraman dan keselarnatan orang lain serta mebahayakan dirinya sendiri[21]        

Sedangkan berdasarkn hasil penelitian Departemen Sosial  dan UNDP di jakarta dan surabaya anak jalanan di kelompokkan dalam tiga katagori [22]: Anak jalanan yang hidup di jalanan, anak jalanan yang bekerja di jalanan dan anak yang rentan menjadi anak jalanan.

Menurut Kirik Ertanto, latar belakang anak menjadi anak jalanan dapat disebabkan oleh  dua hal. Pertama, kekecewaan mereka atas pendidikan di sekolah. Di sekolah ia dicap sebagai  anak nakal dan bodoh sehingga sering dimarahi oleh guru[23]. Kedua, permasalahan yang  dihadapinya di sekolah biasanya dilaporkan kepada orang tua murid. Laporan ini biasanya  menjadi penyulut kemarahan orang tua bahkan seringkali diikuti dengan kekerasan[24].
Masalah anak jalanan tidak dapat dilepaskan dari : Pertama, masih berlangsungnya “kemiskinan strutural di dalam masyarakat kita[25]; Kedua, semangkin terbatasnya tempat bermain anak karena pembangunan yang semakin tidak mempertimbangkan kepentingan dan perlindungan anak; Ketiga, semakin meningkatnya gejala ekonomi upah dan terbukanya peluang bagi anak untuk mencari uang dari jalanan; Keempat, keberadaan anak jalanan tersebut telah dirasakan oleh sementara masayarakat sebagai suatu bentuk gangguan.

Perlu ditegaskan disini, pengertian anak jalanan yang dimaksudkan dalam metode penelitian hukum ini adalah seseorang yang berumur di bawah 18 tahun yang menghabiskan sebagian atau seluruh waktunya di jalanan dengan melakukan kegiatan-kegiatan untuk mendapatkan uang atau guna mempertahankan hidupnya.

Aanak Yang Berhadapan Dengan Hukum
Berdasarkan UU 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang berhadapan dengna hukum adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana.  Perlindungan  hukum  bagi anak dapat dilakukan sebagai  upaya perlindungan hukum terhadap berbagai kebebasan dan hak asasi anak (fundamental rights and freedoms of children) serta berbagai kepentingan yang berhubungan dengan kesejahteraan anak. Jadi perlindungan hukum bagi anak mencakup lingkup yang sangat luas.[26]

Ruang   Iingkup   perlindungan   hukum   bagi   anak   mencakup:  (1) perlindungan terhadap kebebasan anak;   (2) perlindungan terhadap hak asasi anak, dan (3) perlindungan hukum terhadap semua kepentingan anak yang berkaitan dengan kesejahteraan[27].  Sasaran perlindungan bagi anak-anak yang membutuhkan perlindungan khusus berdasarkan Konvensi Hak Anak, salah satunya adalah anak-anak dalam konflik dengna hukum (children in conflict with law) agar mereka :[28]
Ø  Tidak mendapat penyiksaan, perlakuan atau penghukuman yang keji, tidak manusiawi atau merendahkan martabat
Ø  Tidak ada hukuman mati atau penjara seumur hidup bagi yang berumur di bawah 18 tahun
Ø  Tidak seorangpun anak akan di renggut kebebasannya secara melawan hukum. Penankapan, penahanan, dan pemenjaraan harus sesuai hukum dan hanya digunakan sebagai langkah terakhir dan untuk masa yang sesingkat-singkatnya

Pada prinsipnya, tidak dibenarkan jika anak dikenakan sanksi sangkaan/tuduhandan tindakan pidana (diperiksa, disidik, ditahan, sampai disidangkan dan divonis masuk penjara). Anak yang melakukan kesalahan dapat diberikan hukuman yang tidak memiliki potensi perlakuan kekerasan, stigmatisasi, sampai dengan penyiksaan yang akan mempengaruhi proses belajar menuju pendewasaan dirinya. Hukuman yang diberikan pada anak pun bukan bertujuan untuk balas dendam dan mencari alasan penjeraan pada pelaku, tetapi lebih ditekankan pada kemampuan anak untuk menyadari bahwa yang dilakukannya adalah sebuah kesalahan. Atas kesadaran tersebut, anak belajar untuk memperbaiki dirinya. Proses perbaikan diri anak tersebut, tidak diartikan dalam bentuk isolasi dalam tahanan, namun dalam bentuk pendampingan yang dilakukan oleh keluarga dan masyarakat, dengan tujuan tidak menghilangkan.[29]

Gorden Bazemore menyatakan bahwa tujuan sistem peradilan pidana anak berbeda-beda, tergantung pada paradigma sistem peradilan pidana anak yang di anut[30]. Terdapat tiga paradigma peradilan anak yang terkenal, yakni paradigma pembinaan individual (individual treatment paradigma), paradigma retributive (retributive paradigma) dan paradigma restoratif (restorative paradigma).

Kasus-kasus terakhir mengenai anak yang berkonflik dengan Hukum (ABH) semakin dirasakan serius dampaknya, tidak hanya bagi anak tetapi juga bagi masyarakat. Seharusnya prinsip kepentingan terbaik bagi anak menjadi pedoman bagi semua pihak dalam memberikan perlindungan kepada anak. Salah satu hal penting yang patut diperhatikan adalah mendengarkan pendapat anak atas berbagai permasalahan yang akan mempengaruhi masa depannya. Tanggung jawab masalah anak seharusnya tidak hanya menjadi sekadar wacana, namun dapat diwujudkan oleh semua pihak, agar berbagai permasalahan anak dapat teratasi.

ditulis 26 Desember 2013


[1]Abu Huraerah, 2012, Kekerasan Terhadap Anak, Nuansa Cendekia, hlm.21-22.
[2] Abu Huraerah, 2007, Child Abuse (Kekerasan Terhadap Anak)  edisi revisi, Nuansa, hlm.89.
[3]Abu Huraerah, 2012, Kekerasan Terhadap Anak , op.cit. hlm. 87.
[4]UUD 194 Pasal 34 Ayat (1) Amandemen Ke-IV.
[5] M.Nasir Djamil, 2013, Anak Bukan Untuk Dihukum Catatan Pembahasan UU Sistem Peradilan Pidana Anak (UU-SPPA), Sinar Grafika, hlm.33.
[6]Sasaran perlindungan bagi anak-anak yang membutuhkan perlindungan khusus berdasarkan Konvensi Hak Anak, salah satunya adalah anak-anak yang berkonflik dalam hukum (children in conflict with law) agar mereka : satu;  tidak mendapat penyiksaan, perlakuan atau penghukuman yang keji, tidak manusia atau merendahkan martabat; kedua, tidak ada hukuman mati atau penjara seumur hidup bagi orang yang berumur di bawah 18 tahun; Ketiga, tidak seorang pun anak akan direnggut kebebasannya secara melawan hukum. Penangkapan, penahanan, dan pemenjaraan harus sesuai hukum dan hanya digunakan sebagai langkah terakhir dan untuk masa yang sesingkat-singkatnya.

[7] . Kamus Besar Bahasa Indonesia,www.artikata.com
[8] Yulies Tiena Masriani, 2011, Pengantar Hukum Indonesia, Sinar Grafika, hlm.6.
[9]Rahayu, 2009, Pengangkutan Orang, etd.eprints.ums.ac.id. Peraturan Pemerintah RI, Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Tatacara Perlindungan Korban dan Saksi Dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat Undang-Undang RI, Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. www.bphn.go.id/data/documents/pkj-2011-11pdf.
[10] M.Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum Catatan Pembahasan UU Sistem Peradilan Pidana Anak (UU-SPPA), op.cit. hlm.24-25
                               
[11] Ibid,. hlm.28.

[12] Ibid,. hlm.29.
[13]Penjelasan atas undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 Tentang penjelasan atas undang-undang republik indonesia Nomor 11 Tahun 2012 Tentang sistem peradilan pidana anak. Pasal 2 (c).

[14]Penjelasan atas uddang-undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2012 Tentang pengesahan optional protocol to the convention on the rights of the child on the sale of chidren, child prostitution and child pornography (protokol opsional konvensi hak-hak anak mengenai penjualan anak, prostitusi anak, dan pornografi anak).
[15] Penjelasan atas undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 Tentang penjelasan atas undang-undang republik indonesia Nomor 11 Tahun 2012 Tentang sistem peradilan pidana anak. Pasal 2 (d).
[16] M.Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum Catatan Pembahasan UU Sistem Peradilan Pidana Anak (UU-SPPA), op.cit. hlm.137.
[17] Baca UU tentang sistem peradilan pidana anak. Pasal 3,4,5.
[18]Penjelasan atas undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 Tentang penjelasan atas undang-undang republik indonesia Nomor 11 Tahun 2012 Tentang sistem peradilan pidana anak. Pasal 2 (f). Yang dimaksud dengan ”kelangsungan hidup dan tumbuh kembang Anak” adalah hak asasi yang paling mendasar bagi Anak yang dilindungi oleh negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua
[19] M.Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum Catatan Pembahasan UU Sistem Peradilan Pidana Anak (UU-SPPA), op.cit. hlm.31.
[20] Abu Huraerah, 2012, Kekerasan Terhadap Anak , op.cit. hlm.90.
[21]Makalah. http.ile.upi.edu/Direktori/FPIPS/JUR._PEND._SEJARAH/196303111989011 AYI_BUDI_SANTOSA/Masyarakat_Urban/Bab_X.pdf. di unduh 22/12/13
[22] Abu Huraerah, 2012, Kekerasan Terhadap Anak , op.cit. hlm.90
[23]Romli atamasasmita mengemukakana pendapatnya mengenai motivasi intrinsik (dorongan atau keinginan pada diri seseorang yang tidak perlu disertai perangsangan dari luar) dan motivasi ektrinsik (darongan yang datang dari luar diri seseorang). Yang termasuk motivasi intrinsik terhadap kenakalan anak ialah faktor intelengia, faktor usia, faktor kelamin dan faktor kedudukan anak dalma keluarga. Adapun yang termasuk motivasi ektrinsik ialah faktor rumah tangga, faktor pendidikan dan sekolah, faktor pergaulan anak dan faktor mass media. Dikutip Wagiati Soetodjo, 2005, Hukum Pidana Anak, Refika Aditama, hlm.17.
[24]Kirik  Ertanto dalam www.kunci. or. id/htm. Diunduh 23/12/13
[25]Krisis ekonomi, adalah sebagai pemicu utama terjadinya berbagai bencana yang telah menyebabkan banyak orang tua dan keluarga mengalami penurunan daya beli, pemutusan hubungan kerja sehingga tidak bisa memenuhi kebutuhan akan hak-hak anaknya. Berkaitan dengan itu jumlah anak putus sekolah, terlantar dan marginal  semakin bertambah, selain itu akibat yang ditimbulkan terpaksa banyak anak-anak yang harus membantu orang tuanya, karena kemiskinan
[26]barda nawawi arief, beberapa aspek kebijakan dan pengembangan hukum pidana, (bandung: pt. Citra aditya bakti, 1998), hal. 153. I Made Sepud, “Jurnal perlindungan hukum terhadap pelaku tindak pidana anak melalui diversi dalam sistem peradilan pidana anak Di indonesia” hukum.ub.ac.id/wp-content/uploads/2013/04/Jurnal-Sepud.docx‎. di unduh 24/12/13
[27] Ibid,. hlm.1.
[28] Abu Huraerah, 2007, Child Abuse (Kekerasan Terhadap Anak)  edisi revisi, op.cit. hlm. 94.

[29]Herlin Astri. Jurnal Info Singkat Kesejahteraan Sosial, Vol. IV, No. 01/I/P3DI/Januari/2012
[30]Setya Wahyuni, 2011, Implementasi Ide Diversi Dalam Pembaharuan Sistem Peradilan Pidana Aanak di Indonesia, Genta Publising, hlm.38-40. Dikutip M.Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum Catatan Pembahasan UU Sistem Peradilan Pidana Anak (UU-SPPA), op.cit. hlm.45

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama