CALON TUNGGAL
Oleh :
Ilham Fauzi, SH.
Dewan Pertimbangan IMTA-Jogja
Ketua Umum Peduli AYFAMI
Menjelang Pemilihan kepala daerah yang akan di selenggarakan akhir Tahun 2015. Pada tanggal 30 September 2015 Mahkamah Konstitusi (MK) telah menjatuhkan Putusan (No:100/PUU-XIII/2015) dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Penganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam putusannya Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan Pemohon yang berkaitan dengan Pasal 52 ayat 2, Yakni : Berdasarkan Berita Acara Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat 1, KPU Kabupaten/Kota menetapkan paling sedikit dua pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota dengan Keputusan KPU Kabupaten/Kota, bertentangan dengan UUD 1945.
Dalam putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi memperbolehkan Calon tunggal dalam kontestan Pemilihan Kepala Daerah dengan konsep meminta pendapat rakyat (Pemilih ) dalam kotak suara, dengan cara menentukan pilihan apakah “setuju” atau “tidak setuju”. Apabila pilihan “setuju” memperoleh suara terbanyak maka Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dimaksud di tetapkan sebagai Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah terpilih, sedangkan apabila pilihan “tidak setuju” memperoleh suara terbanyak maka Pemilihan ditunda sampai Pemilihan Kepala Daerah serentak berikutnya (Tahun 2017). Dengan alasan Hak Konstitusional warga negara yang sekaligus merupakan wujud pelaksanaan kedaulatan rakyat dapat dipenuhi untuk dipilih dan memilih dalam Pemilihan Kepala Daerah, tanpa tersandera oleh syarat paling sedikik adanya dua pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
Mahkamah Konstitusi telah mencetak sejarah Republik Indonesia yang membuka kran Referendum bagi calon tunggal Pemilihan Kepala Daerah (DetikNews 30/09/2015). Kata Referendum atau Plebisit berasal dari bahasa Latin yaitu Plebiscita yang berarti Pemilih an langsung, dimana Pemilih diberi kesempatan untuk memilih atau menolak suatu tawaran/usulan. Di Indonesia sering disebut Jajak Pendapat sedangkan di Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) disebut Penentuan Nasib Sendiri (Self Determination). Undang-Undang No 5 Tahun 1985 tentang Referendum menjelaskan, Referendum adalah kegiatan untuk meminta pendapat rakyat secara langsung mengenai setuju atau tidak setuju terhadap kehendak Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk mengubah Undang-Undang Dasar 1945. Walaupun secara Eksplisit Mahkamah Konstitusi tidak menjelaskan makna pilihan “setuju” atau “tidak setuju” bagian dari sistem referendum. Akan tetapi secara dominan publik menilai bahwa Mahkamah Konstitusi mencetak sejarah terhadap Pemilihan Kepala Daerah serentak bagi calon tunggal secara Demokrasi dengan sistem Referendum.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum Pasal 1 ayat 4 disebutkan, bahwa : Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota adalah Pemilih an untuk memilih gubernur, bupati, dan walikota secara demokratis dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kemudian, pertanyaan yang muncul adalah apakah Pemilih an Kepala Daerah yang akan diselenggarakan pada tanggal 9 Desember 2015 dengan calon tunggal merupakan bagian dari demokrasi.
Secara etimologis “demokrasi” terdiri dari dua kata Yunani yaitu “demos” yang berarti rakyat atau penduduk suatu tempat dan “cratein” atau “cratos” yang berarti kekuasaan dan kedaulatan. Gabungan dua kata demos-crateinatau demos-cratos(demokrasi) memiliki arti suatu keadaan negara di mana dalam sistem pemerintahannya kedaulatan berada di tangan rakyat, kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan bersama rakyat, rakyat berkuasa, pemerintahan rakyat, dan kekuasaan oleh rakyat (A. Ubaedillah dan Abdul Rozak, Pendidikan Kewarganegaraan: Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani, Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2006).
Dengan demikian, adanya putusan Mahkamah Konstitusi dengan diperbolehkannya calon tunggal tidak serta merta memenuhui hak konstitusional warga negara untuk memilih yang di wujudkan dalam bentuk kedaulatan rakyat. Karena pada prinsipnya kedaulatan rakyat selalu beriringan dengan hak Demokrasi dalam menetukan pilihan. Sehingga tidaklah tepat Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang memperbolehkan calon tunggal adalah Pemilih an untuk memilih gubernur, bupati, dan walikota secara demokratis. Karena pada prinsipnya demokrasi yang dimaksud dalam Pilkada adanya pilihan untuk rakyat memilih minimal dua calon Kepala daerah dan wakilnyam sehingga rakyat bebas untuk menentukan pilihan. dan tidak terpaku pada satu pilihan kepala daerah dan wakilnya.
Hal ini menajdi pukulan telak bagi KPU atas putusan Mahakamah Konstitusi tersebut. Padahal KPU telah mempublikasikan, dari 269 daerah yang melaksanakan Pemilih an pada tahun 2015 dengan rincian 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 36 kota, 3 daerah yang penyelenggaranya ditunda sampai dengan tahun 2017, yaitu Kabupaten Blitar, Kabupaten Tasikmalaya, dan Kabupaten Timor Tengah Utara, dikarenakan tidak memenuhi persyaratan minimal 2 pasangan calon. Maka yang terjadi adalah tidak adanya kepastian hukum karena hak kekauasaaan rakyat untuk memilih telah di abaikan. Seperti mana dikatakan Refly Harun, Pakar Hukum Tata Negara Keberadaan Mahkamah Konstitusi (MK) yang diadopsi melalui Perubahan Ketiga UUD 1945 (2001) tidak sekadar sebagai penjaga konstitusi (The Guardian Of Constitution) atau penafsir konstitusi (The Sole Interpreter Of Constitution). Lebih jauh dari itu, MK juga dibebani kewajiban untuk melindungi hak asasi manusia (The Protection Of Human Rigths) dan mengawal demokrasi (The Guardian Of Democracy) dalam kerangka negara hukum (the rule of law).
Dengan adanya Putusan MK yang memperbolehkan calon tunggal bertolak belakang dengan peran partai politik dalam sistem perpolitikan nasional merupakan wadah melakukan pengkaderan serta rekrutmen politik yang efektif untuk menghasilkan keder-kader calon pemimpin nasional dan daerah untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden, Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota, anggota DPR, DPRD Provinsi, dan anggota DPRD Kabupaten/Kota. Kepemimpinan partai yang demokratis, akuntabel dan berkarakter tidak hanya diperlukan untuk mendukung berfungsinya sistem kepartaian, melainkan juga dibutuhkan untuk mendukung penguatan sistem pemerintahan dan sistem perwakilan. Lebih jauh lagi, lahirnya kepemimpinan demokratis, akuntabel dan berkarakter pada dasarnya merupakan merupakan bagian tak terpisahkan dari upaya membangun kepemimpinan yang kuat dan visioner yang dibutuhkan bangsa Indonesia ke depan.Semoga dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang memperbolehkan calon tunggal pada Pilkada Serentak tahun 2015 tidak menjadi malapetaka terhadap proses Regenerasi kepemimpinan Negara Republik Indonesia. (30 September 2015)