Rencana Tata Ruang Justru Percepat Alih Fungsi Hutan



Proses penataan ruang di daerah, yang dimulai dari penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota (RTRWK), justru  mempercepat alih fungsi hutan di bawah wilayah di Tanah Air. Menurut evaluasi Greenomics Indonesia periode tahun 2003-2007 terhadap proses RTRWP dan RTRWK di Pulau Sumatera dan Kalimantan, tingkat kesahihan produk RTRWP dan RTRWK secara umum dapat dikategorikan cukup rendah karena data penentu kesahihan suatu produk RTRWP dan RTRWK sering tidak terpenuhi. "Akibatnya, arahan pengelolaan kawasan lindung, arahan pengembangan kawasan budi daya, arahan struktur tata ruang, dan pedoman pengendalian pemanfaatan ruang wilayah tidak memenuhi standar kriteria," kata Elfian Effendi, Direktur Eksekutif Greenomics Indonesia di Jakarta, Senin (5/5).
"Rendahnya kesahihan produk RTRWP dan RTRWK telah menyebabkan semakin meluasnya konflik lahan, kasus tumpang tindih perizinan di lapangan, konflik status dan fungsi kawasan hutan, dan pengaplingan areal hutan lindung untuk perizinan perkebunan dan budi daya pertanian lainnya," lanjut Elfian Effendi. Kondisi ini tentu semakin mempercepat lenyapnya kawasan hutan, karena banyak dijumpai alih fungsi kawasan hutan melalui proses RTRWP dan RTRWK yang sering dilakukan secara sepihak, tanpa melalui mekanisme dan prosedur yang sah, tambahnya. Elfian juga menyebutkan dalam penyusunan RTRWP dan RTRWK, tidak jarang dijumpai kebijakan pemerintah daerah yang memasukkan kawasan hutan, baik yang sudah tidak berhutan maupun relatif berhutan, menjadi areal pengembangan budi daya pertanian seperti perkebunan, tanpa melalui prosedur yang sah.
"Ini jelas kebijakan ilegal dan bisa dipidanakan, karena melanggar peraturan perundangan kehutanan. Tentu kasus-kasus alih fungsi hutan lewat mekanisme RTRWP dan RTRWK yang sah ini harus diusut sampai tuntas," ujar dia.  Data Greenomics Indonesia tahun 2006-2008 menunjukkan di Provinsi Sumatra Utara, ada sekitar 40 kasus perambahan kawasan hutan untuk perkebunan dan budi daya pertanian lainnya yang mencapai luas 195.000 hektar. "Bahkan, hutan lindung seluas 327.000 hektar di wilayah Provinsi Sumatera Utara dialihfungsikan menjadi areal konsesi HPH. Kondisi tersebut tentu sangat riskan," kata Elfian.

Greenomics Indonesia merilis data sedikitnya 143.000 hektar kawasan hutan lindung dan hutan konservasi di Provinsi Riau secara ilegal telah berubah fungsi menjadi areal perkebunan dan budi daya pertanian lahan kering. Di Provinsi Aceh, seluas 160.000 hektar hutan lindung telah berubah menjadi areal perkebunan, lahan pertanian kering, semak belukar, dan tanah terbuka. Sementara Provinsi Kalimantan Barat, sedikitnya 286.000 hektar hutan lindung telah berubah fungsi menjadi areal pertanian. Sedangkan di Provinsi Kalimantan Tengah, kawasan hutan lindung dan hutan produksi telah dialihfungsikan secara ilegal menjadi areal perkebunan seluas 225.000 hektar. Secara nasional, data Departemen Kehutanan tahun 2007 menunjukkan perubahan peruntukan hutan lindung dan hutan konservasi secara ilegal yang telah dijadikan areal perkebunan, pertambangan, lahan terbuka, semak belukar, dan budi daya pertanian lainnya mencapai angka 10 juta hektar.
Kepala Pusat Pengukuhan dan Penatagunaan Kawasan Hutan (PPKH) Badan Planologi Kehutanan, Departemen Kehutanan Dwi Sudharto mengatakan, pada umumnya pemekaran wilayah kabupaten/kota yang ada di Indonesia menabrak atau masuk dalam kawasan hutan. "Kita berharap pemerintah kabupaten/kota yang ada, sebelum disahkan kabupaten pemekaran terlebih dulu melakukan koordinasi dengan DPR dan Dinas Kehutanan setempat agar ketika disahkan, pemekaran kabupaten/kota tidak masuk dalam kawasan hutan lindung dan taman nasional," kata Dwi Sudharto, usai Diskusi Monitoring Implementasi Program Revitalisasi Perkebunan Kamis malam.
Ia menginginkan, ke depannya ada koordinasi yang baik antara pemerintah kabupaten/kota dalam memekarkan wilayahnya. "Selama ini kita melihat belum ada koordinasi. Mestinya pemerintah kabupaten atau kota sebelum menyetujui pemekaran terlebih dulu melihat peta di Dephut agar tidak memberikan lokasi yang berada di kawasan hutan lindung dan taman nasional," ujarnya.
Dwi menambahkan, sesuai dengan Undang-undang No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, keberadaan hutan dijamin dengan luasan penutupan hutan minimal 30% dari luas Daerah Aliran Sungai (DAS) dan pulau, agar fungsi hutan sebagai kawasan konservasi dan fungsi lindung dan fungsi produksi bisa terjaga.
Ia mencatat, akibat eksploitasi yang tidak terkendali, laju kerusakan hutan tercatat 1,08 juta hektar per tahun untuk 2000-2006. Laju kerusakan semakin tidak terkendali pada era otonomi, karena masing-masing daerah pemekaran berlomba-lomba memperoleh pendapatan asli daerah dari hasil alam, seperti kayu, tambang, dan pengembangan perkebunan. "Kita mencatat, saat ini hutan terdegradasi sebesar 59,63 juta hektar," katanya.
Ada beberapa faktor penyebab tingginya degradasi hutan di Indonesia di antaranya, salah memahami makna hutan, transisi desentralisasi, konflik atau benturan antarsektor, penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah yang mengabaikan ruang kawasan hutan, pemekaran wilayah yang tidak mempertimbangkan eksistensi kawasan hutan, pembalakan hutan secara liar dan kebakaran hutan.
Sebelumnya Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) Kalimantan Barat, Tri Budiarto mengatakan, saat ini banyak pemerintah kabupaten membuat tata ruang semaunya, sehingga ketika tata ruang tersebut dipertemukan dengan pemerintah provinsi terdapat perbedaan mencolok. Sehingga tidak heran di tata ruang Pemprov Kalbar daerah tertentu masih berstatus hutan produksi, tetapi di tata ruang kabupaten menjadi kawasan perkebunan.
Karena masalah itu, saat ini banyak bupati yang menuding Bapedalda Kalbar mempersulit izin pengembangan sawit. "Padahal tidak demikian, asal memiliki AMDAL dan tidak menyalahi tata ruang izin pasti akan lancar," tambahnya. Ia mengatakan, jangan sampai pengembangan lahan sawit baru hanya mengarah pada praktik penebangan kayu. Setelah kayu habis ditebang, pengembang melarikan diri seperti praktik-praktik zaman dahulu.
Dengan diberlakukannya Undang-undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, maka setiap orang yang tidak mentaati tata ruang pembangunan yang menyebabkan perubahan tata fungsi ruang, diancam pidana kurungan tiga tahun dan denda Rp500 juta. Apabila menyebabkan kematian orang maka diancam kurungan penjara 15 tahu dan denda Rp5 miliar.

Posting Komentar

Please Select Embedded Mode To Show The Comment System.*

Lebih baru Lebih lama