Yang Muda Yang Korupsi
Oleh : Ilham Fauzi, SH.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menguak kasus dugaan korupsi yang di lakukan oleh Bupati Banyuasin Yan Anton Ferdian (YAF) lantaran menerima uang haram terkait proyek ijon untuk anggaran Tahun 2017 di Dinas Pendidikan Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan (Sumsel). YAF di tanggap oleh KPK usai mengadakan pengajian digelar untuk keberangakatan hajinya. YAF tergolong kepala daerah berusia muda. Dia lahir pada 1984, dan usianya tahun ini masih berusia 32 tahun. Di usia 29 tahun, pada 2013 lalu dia dilantik menjadi Bupati Banyuasin, Sumsel.
Bupati Banyuasin merupakan salah satuh contoh yang mengisi daftar deratan Kepala Daerah yang tergolong muda ditangkap aparat penegak hukum. Sebut saja, Bupati Subang Ojang Suhadi, April lalu, ditangkap KPK karena kasus korupsi. Maret 2016, Bupati Ogan Ilir, Noviandi (27), ditangkap Badan Narkotika Nasional karena penyalahgunaan narkoba. Pemimpin muda yang seharusnya memberikan harapan untuk kemajuan daerahnya, malah menjadi malapetaka dan memperburuk masa depan daerahnya. Dikarenakan masa depan bangsa indonesia teletak pada generasi muda.
Dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia, pemuda selalu menempati peran yang sangat strategis dari setiap peristiwa penting yang terjadi. Bahkan dapat dikatakan bahwa pemuda menjadi tulang punggung dari keutuhan perjuangan melawan penjajahan Belanda dan Jepang. Peran tersebut juga tetap disandang oleh pemuda Indonesia yang dulunya berada diluar pemerintah sebagai pengontrol independen terhadap segala kebijakan yang dibuat oleh pemerintah dan penguasa. Untuk membangun suatu tatanan pemerintah yang baik dan pro rakyat, kaum muda mulai berfikir untuk masuk kedalam lingkaran kekuasaan sehingga dapat memberikan keputusan dan kebijakan yang sesuai dengan kehendak rakyat. Inilah salah satu yang melatarbelakngi kenapa pemimpin muda yang diharapkan karena banyak contoh kekecewaan rakyat terhadap pemimpin yang lebih senior.
Dasar perubahan itu ditandai dengan Reformasi. Perubahan seara mendasar di bebagai bidang kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara. Perubahan secara mendasar tersebut tentu muaranya adalah perubahan kondisi kehidupan yang lebih baik, adil, makmur-sejahtera, dan demokratis. Dalam konteks gerakan kepemudaan harus mengambil posisi dan peran kepemimpinan secara komprehensif dalam konteks moral, intelektual, dan politik dalam arti luas, yakni politik untuk meningkatkan kualitas demokrasi bangsa.
Dengan contoh dan uraian diatas tersebut jelas bahwa letak kepercayaan terhadap kepemimpinan generasi muda lebih diharapkan. Bukan malah sebaliknya yakni Yang Muda Yang Korupsi. Pertanyaan yang muncul, Apa yang salah dengan kepala daerah yang tergolong muda. Mungkinkah yang muda yang memberantas kosrupsi dan tidak melanggar norma norma hukum atau sebaliknya.
Dalam bukunya Muhammad Umar Syadat Hasibuan yang berjudul Revolusi Politik Kaum Muda, seorang pemikir asal Prancis, Hippolyte Taine, menyatakan, manusia pasti terikat oleh tiga unsur yang tidak mungkin dielakkan, yaitu ras, milleu atau lingkungan, momen atau waktu dengan situasi dan kondisi tertentu. Kondisi ini tampaknya sangat relevan dengan perkembangan kaum muda Indonesia. Kaum muda yang tumbuh di tengah beragam zaman yang berbeda, ras, milleu, lingkungan, momen, waktu, situasi dan kondisi di pelbagai wilayah yang terhampar di gugusan kepuluan Nusantara.
Sungguh ironi peran parpol dalam melakukan pendidikan atau melahirkan kepemimpinan di partainya tidak berhasil. Padahal peran parpol dalam sebuah sistem pemerintahan yang demokrasi seharusnya berperan sebagai wadah seleksi kepemimpinan nasional dan daerah. Peran tersebut dimanifestasikan dalam proses penggantian kepemimpinan nasional dan daerah saat pemilukada dan tidak terjebak pada politik dinasti menjadikan partai politik sangat pragmatisme memilih kepala daerah yang menjadikan penyebab banyak kepala daerah yang melakukan tindakan korupsi.
Parpol juga harus melakukan pendidikan politik pada masyarakat, tidak hanya pendidikan yang bersifat formal, tapi juga contoh-contoh yang dihadirkan media kepada publik. Parpol seharusnya membawa aspirasi yang berkembang di tengah masyarakat dan mengedepankan kepentingan bangsa dan negara. Namun kebanyakan parpol di Indonesia hanya sibuk mengurus kepentingan subyektif mendapatkan kursi di lembaga perwakilan. Bahkan mempertontonkan tindakan tidak mendidik yang mengabaikan etika dan perilaku tidak etis dalam percaturan politik. Hal tersebut merupakan salah satu indikasi kegagalan parpol melahirkan kepemimpinan muda. Untuk mengatasi berbagai permasalahan tersebut, perlu dilakukan revitalisasi peran dan fungsi partai politik dalam melahirkan kader pemimpin transformatif, pendidikan politik, serta perbaikan sistem pemilu.