Teater Kontemporer Indonesia


Sejak berdiri TIM kehidupan teater kontemporer Indonesia galak. Kehidupan teater modern Indonesia yang semula jelas terpisah dari kegiatan teater tradisional/rakyat, mulai berkaitan dan bahkan meluruh. Keramaian pertunjukan di TIM, menimbulkan interaksi yang gencar antara kelompok teater modern Indonesia dengan teater tradisional/rakyat (wayang, ketoprak, ludruk, dagelan Mataram, Srimulat, makyong, mamanda, lenong, arja, reog dan sebagainya). Dan pada gilirannya juga terjadi persentuhan dengan kelompok-kelompok asal mancanegara. Baik rombongan teater, tari, musik dari Barat: Eropa, Amerika; maupun Timur: India, Cina, Jepang.
Interaksi itu menimbul produksi-produksi yang membawa pembauran antara nilai-nilai modern dengan tradisional, Barat dengan Timur. Juga terasa ada penggalian pada tradisi Indonesia sendiri secara sadar dan intens. Tradisi tidak lagi hanya dipuja atau ditolak, tetapi dikembangkan dan dihidupkan sehingga aktual. Baik kepada bentuk-bentuk pertunjukan, struktur penuturan atau penulisan lakon, teknik-teknik pengadegan, kostum, rias dan seni laku. Jiwa teater tradisional dan teater rakyat Indonesia -- baik sebagai ''ritus'' maupun ''tontonan'' -- berkembang kembali dalam teater kontemporer. Kombinasi atau peluruhan itu -- dengan referensi bandingan perkembangan teater mancanegara -- menimbulkan bentuk-bentuk pertunjukan dan naskah ''baru''. Kontemporer sekaligus tradisional.
Sebagai contohnya: pertunjukan ''Oedipus'' oleh Bengkel Teater. Pertunjukan ''Jayaprana'' oleh Teater Populer dan pertunjukan/naskah ''Kapai-Kapai'' oleh Teater Kecil. Pertunjukan-pertunjukan puncak di TIM, pada era akhir 60-an sampai pertengahan 70-an kemudian menjadi referensi bagi kegiatan teater kontemporer Indonesia selanjutnya. Demikian keras pengaruhnya terhadap perkembangan berikutnya, sehingga lahir sebuah ''tradisi baru''yang menjadi panutan perkembangan teater.
Dengan ''tradisi baru'' itu, Teater kontemporer Indonesia tidak lagi hanya merupakan tiruan atau terusan dari tradisi teater Barat. Tetapi kehidupan teater yang memiliki identitas sendiri. Karenanya untuk dapat memahami atau menikmati teater kontemporer Indonesia akan lebih afdol kalau disertai pengetahuan tentang '' tradisi baru itu''. Itu berarti harus menyimak pada proses ''interaksi'' yang terjadi di TIM antara nilai modern-tradisional serta Barat-Timur.
Banyak kritisi telah salah menilai teater kontemporer Indonesia. Karena mereka hanya menganalisa dengan referensi teater Barat. Akibatnya fatal. Teater kontemporer Indonesia hanya menjadi bayang-bayang tradisi Barat. Memang ada tradisi teater Barat di Indonesia. Misalnya pada pertunjukan-pertunjukan ''The Jakarta Players''. Pada ATNI (Akademi teater Nasional Indonesia) lewat tokoh-tokohnya: Wahyu Sihombing, Asrul Sani, Wahab Abdi, Pramana Pmd, Teguh Karya. Sementara dalam penulisan naskah, karya-karya Iwan Simatupang. Tapi itu hanya sebagian kecil dari kehidupan teater kontemporer Indonesia.
Teater kontemporer Indonesia tidak hanya diisi/dipengaruhi oleh tradisi Barat, tapi juga oleh tradisi Timur lainnya, seperti India, Cina dan Jepang dan terutama oleh tradisi teater tradisional/rakyat Indonesia sendiri. Pada era 70 dan 80, pencarian dan eksperimen berhasil menemukan beragam bentuk-bentuk dan
27
nafas baru yang bersumber pada tradisi Indonesia. Isi teater kontemporer Indonesia kemudian jadi penuh dengan corak, warna, gaya dan jalan pikiran masing-masing kelompok.
Ada: Bengkel Teater (WS Rendra), Teater Kecil (Arifin C.Noer), Teater Populer (Teguh Karya), STB (Suyatna Anirun), Teater Sardono, Wayang Buda (Suprapto), Teater Mandiri (Putu Wijaya), Teater Saja (Ikranegara), Bumi Teater (Wisran Hadi), Teater IKJ (Institut Kesenian Jakarta), Teater Koma (N.Riantiarno), Teater Keliling (Dery) kemudian Teater Sae (Budi Otong), Teater Dinasti (Fajar Suharno), Teater Gandrik (Jujuk Prabowo) dan Teater Kubur (Dindon). Diikuti dengan lahirnya naskah-naskah drama baru yang ditulis oleh Arifin C.Noer, Putu Wijaya, Wisran Hadi, Akhudiat, Zaini KM, Freddy Kastam Mastra, Noorca Marendra, Ikranegara, Kuntowijoya, Yudhistira A.Nugraha, Danarto, N.Riantiarno dsb.nya.
Tidak hanya di Jakarta. Di beberapa kota besar Indonesia kehidupan teater kontemporer berkembang. Yang pantas disebutkan adalah Bandung dan Yogyakarta. Di Medan ada Teater Nasional yang dipimpin oleh Zakaria M.Passe. Kemudian di Ujung Pandang pementasan-pementasan dipimpin oleh Aspar. Di Surabaya ada sutradara Sunarto Timur dan Akhudiat. Juga Lampung, Malang, Tegal, Banjarmasin (Ajim Ariadi), Denpasar (Abubakar) dan Singaraja (Silur, Gde Dharna).
Kehidupan teater kontemporer Indonesia memasuki era tahun 90-an menghadapi beberapa dilema. Teater cenderung menjadi barang komoditi. Teater tidak lagi diharapkan merupakan proyek rugi kesenian, tetapi profesi dari para pendukungnya. Ini melahirkan bisnis teater. Sesuatu yang baru. Menejemen, impresario, publikasi, kemudian mulai mempengaruhi kehidupan penciptaan. ''Process oriented'' mulai digeser oleh ''product oriented''. Teater Koma (N.Riantarno) sangat sukses memasuki era ini.
Beberapa teater melakukan pendekatan kepada bisnis teater dengan lebih berhati-hati. Mereka berusaha tetap pada nilai-nilai ekspresi. Misalnya Bengkel Teater, Teater Kecil dan Teater Mandiri. Sementara beberapa teater lagi berusaha bertahan untuk murni berekspresi. Misalnya Teater Sae (Budi Otong) dan Teater Kubur (Dindon) yang mengarah pada eksperimen-eksperimen.
Perlahan-lahan ada arus balik. Penonton di Jakarta merindukan kembali kehadiran realisme teater Barat. Pertunjukan yang memberat dan berbau eksperimen dihindari. Komedi yang menjurus pada dagelan amat digandrungi. Penonton pertunjukan-pertunjukan teater, baik lokal maupun dari mancanegara, secara umum menipis. Hanya Teater Koma sukses mengadaptasi keadaan, padahal misalnya hiburan Srimulat, Jakarta, yang pernah begitu meledak bubar total.
Eksperimen dan pembaruan yang gencar pada tahun 70-an terhenti. Puncak-puncak prestasi teater di tahun-tahun itu belum terulang lagi. Ini semua pastilah bukan semata-mata masalah teater. Tapi efek sampingan perkembangan masyarakat yang meletakkan nilai-nilai ekonomi di atas segalanya. Para anggota masyarakat yang didera persaingan yang semakin ketat, konon menderita
28
kelelahan jasmani dan rokhani. Mereka memerlukan ventilasi yang disebut hiburan. Tak peduli itu berarti ''pembodohan''.
Teater kontemporer Indonesia kini sedang menghadapi dilema di gerbang pasar. Ada pembalikan. Nilai-nilai kultural bisa dianggap sebagai ''pembodohan'' karena tidak mendatangkan uang. Keadaan ini mungkin akan berlangsung sampai masyarakat jenuh sendiri. Apalagi kalau orang-orang teaternya semua memilih untuk beradaptasi.

Posting Komentar

Please Select Embedded Mode To Show The Comment System.*

Lebih baru Lebih lama