KEBANGKITAN TEATER URBAN



Jakarta yang diciri dengan budaya Betawi, seringkali tidak terasa sebagai sebagai Betawi lagi. Banyak penduduk yang dianggap sebagai orang Betawi, sudah bergeser ke daerah pinggiran Jakarta dan hidup berbaur dengan masyarakat yang berasal dari berbagai kelompok etnik di Nusantara. Sementara para pendatang yang sudah merasa Jakarta sebagai “tumpah-darah”nya itu sendiri, hidup di Jakarta dengan sebagian adat-istiadat, tradisi, pendeknya budaya asalnya. Jakarta pun menjadi semacam piring yang menampung berbagai latar budaya dan kemudian memaketnya menjadi semacam gado-gado.
Dalam apa yang disebut gado-gado, segala macam bisa masuk dan berbaur. Toh itu tidak berarti bisa ngawur dan seenaknya. Tetap ada benang merah yang membuat ia “layak” disebut gado-gado yang berbeda dengan ketoprak atau salad bahkan berbeda dengan apa yang disebut di Jogya pecel. Ada semacam estetika, semacam bingkai, semacam karakterisasi yang membuat gado-gado menjadi “gado-gado”. Karena ada rasa khas dan otentik baru sah bernama gado-gado. Jadi dalam kekacauannya ada keteraturan. Keteraturan di dalam kekacauan.
Betawi sendiri juga di dalam sejarahnya sebagai sebuah kota pelabuhan terbentuk dalam sebuah proses gado-gado yang mencampurkan berbagai unsur sehingga menjadi Betawi. Dan hingga kini masih terus berproses untuk terus menumbuhkan bentuk dan karakternya karena sudah tidak bisa dibendung lagi oleh serbuan para pendatang. Apa boleh buat Jakarta dianggap sebagai sumber rezeki dan puncak kerucut. Suka tidak suka, Jakarta sudah jadi idola, karena jadi pusat perdagangan, pusat pemerintahan dan pusat budaya. Jakarta sudah menjadi dapur dan lab (setidak-tidaknya salah satu) dalam menuju apa yang disebut Indonesia.

Dalam Festival Teater Remaja pada 1974, dari sekitar 114 kelompok teater dari 5 wilayah ibukota, gejala keberagaman itu nampak jelas. Masing-masing wilayah seperti menitipkan atau mencipratkan peta budayanya lewat penampilan di panggung. Tanpa ada penugasan resmi, kelompok teater itu seperti duta budaya yang mengenalkan, mempromosikan, memproklamirkan dan memprovokasikan kehadiran dari wilayahnya.
Dalam kegiatan festival selanjutnya, dari penampilan-penampilan itu kita segera bisa mengenal asal wilayah mereka , Selatankah, Utarakah, Baratkah, Timurkah, atau Jakarta Pusatkah.
Tapi dari Selatan juga tak selamanya Selatan. Tanpa dipantek oleh wilayah para pekerja teater itu kemudian membuat festival menjadi semacam pasar atau lalu-lintas di mana mereka bisa berpindah-pindah meloncat dari wilayah ke wilayah. Interaksi yang terjadi di dalam festival, mengocok lagi lima benua di dalam festival, sehingga menjadi lebih tak teratur lagi.
Ciri Selatan menular ke Utara dan sebaliknya, sehingga dalam babak kedua Festival Teater Remaja, bukan lagi wilayah yang membagi, tetapi warna, pendidikan dan juga kondisi sosial. Maka pemilahan horisontal bertambah lagi ragamnya dengan pemilahan vertikal. Dengan melihat pertunjukan kita tidak saja
45
bisa menebak dari wilayah mana kelompok itu datang, juga di strata mana masyarakat teater itu hidup.
Dalam perkembangan selanjutnya, Festival Teater Remaja yang berubah nama menjadi Festival Teater Jakarta, tumbuh lagi menjadi tak hanya sekedar alat untuk berekspresi dan bereksistensi, tetapi juga berkiblat. Setelah beberapa kelompok berhasil menjadi senior (karena 3 kali menang) namun dalam kenyataannya belum mampu bersaing dengan kelompok senior seperti Bengkel Teater, Teater Kecil dan Teater Populer, ada lagi yang menarik. Hanya satu dua kelompok tersebut yang benar-benar bisa bertahan hidup. Mereka pecah, mati atau pinsan dengan berbagai alasan.
Yang tetap hidup adalah kelompok yang memiliki keyakinan khusus pada teater sebagai alat untuk berdialog. Dan itu ternyata khususnya yang memiliki tokoh sentral yang kuat. Dan pada kenyataannya, tokoh sentral selalu mengibarkan “idiologi teater”nya. Panutan, ciri, estetika dan pandangan hidup itulah yang kemudian membuat teater itu bertahan sebagai sebuah pribadi yang meruang dan berkembang dalam blantika teater.
Kita seperti melihat sebuah garis diagonal, karena di samping wilayah, strata sosial, teater juga dapat menunjuk pada apakah di situ ada tokoh sentral (dan idiologi) yang menjadi semacam “pemimpin spiritual” pada kelompok tersebut. Garis-garis ini akan terus tumbuh. Yang bisa kita catat dari pertumbuhan garis-garis itu adalah bahwa, andaikan sebuah kertas putih yang sedang digambar, lukisan itu terus bergerak. Entah menyempurnakan diri dan menjadi lebih artistik, atau malah semrawut dan kacau. Dan peralihan-peralihan itu frekuensi dan eksalarinya tak bisa ditebak, karena tidak mengikuti irama yang pasti sebagaimana umumnya terjadi dalam masyarakat urban.
Pada usia ke-34 tahun, ada dua hal yang kita jumpai dalam babak final Festival Teater Jakarta. Bila bertemu dengan pementasan yang bagus, kita mau tak mau akan bilang ya, kemajuan itu sudah selayaknya, karena sudah 34 tahun. Seorang manusia dalam usia 34 tahun, ada yang sudah punya cucu. Tapi sebaliknya bila bertemu dengan pementasan yang buruk dan di bawah standar, kita akan kecewa lalu mengeluh, apa saja yang sudah dipelajari selama 34 tahun. Untuk apa festival kalau hasilnya hanya beginian?
Komentar serta pertanyaan di atas, dua-duanya tidak salah, karena ada alasannya. Yang mungkin dilupakan adalah bahwa itu sebenarnya bukan komentar dan pertanyataan yang terpenting. Apa betul ada standar baku yang dapat dipakai untuk membandingkan gado-gado dengan ketoprak, pecel atau salad? Apa mungkin masih bisa diadakan sebuah festival yang bersifat umum dalam teater urban?
Rasanya jauh lebih mudah kalau ruang disempitkan, misalnya menjadi Festival Teater Remaja Realis. Atau Festival Teater Eksperimental. Atau Festival Teater Anak-Anak Untuk Pendidikan. Penyempitan seperti itu akan melahirkan standar. Dengan standar karya yang satu gampang dibandingkan dengan karya yang lain.
Tetapi kita tahu tidak hanya “gampang” yang hendak kita kejar. Seringkali dalam “gampang” sendiri bersembunyi kebodohan. Kita tidak tahu seluruhnya,
46
sehingga terasa gampang. Kerepotan festival bukan hanya sekedar pesta tapi adalah upaya untuk naik ke peringkat yang lebih tinggi.
Kita berlari bukan sekedar demi kesehatan tetapi mengejar yang terbaik. Bila itu sulit, itu berarti kita harus menata diri dan bersiasat mencari jalan untuk menemukannya, tak hanya berpaling mencari yang lebih gampang. Teater urban adalah bagian dari kenyataan kita. Kalau ada yang terasa tak nyaman, berarti ada yang salah posisi yang harus kita pelajari lalu diperbaiki. Barangkali masalah standar.
Di dalam kota seperti Jakarta, standar tidak bisa lagi hanya ganda tetapi jamak. Berbagai katagori dengan segala aspek yang disangkutnya serta bermacam-macam kepentingan yang hendak disodoknya, membuat penilaian menjadi tidak mudah. Lebih sulit lagi, karena lembaga kritik, pilar besar kehidupan teater yakni pertumbuhan pemikiran teater, tidak hidup. Karena teater hanya dianggap sebagai hiburan, bukan ilmu.
Tanpa adanya kehidupan pemikiran, tanpa ada ruang berpikir di dalam teater, maka apa yang tadi sudah kita lihat sebagai kesulitan menjadi bertambah semrawut. Lalu kita kehilangan arah. Dalam kehilangan arah memang apa yang gampang dipegang kita jadikan tongkat penyelamat. Itu pembunuhan teater. Kita harus rela berkeringat, berkorban dan ingin tahu lebih banyak, karena yang kita tahu tentang teater mungkin masih terlalu sedikit dan terlalu sempit lingkupnya.
Bila ruang pemikiran mulai dipikirkan, dibiayai, ditumbuhkan, diberikan berkembang, teater urban tidak lagi akan nampak hanya sebagai kekacauan pencarian, atau pekerjaan setengah-setengah, atau masakan setengah matang, tetapi sesuatu yang konkrit dan bisa dipertanggungjawabkan. Bukan sesuatu yang ngawur, bukan hanya kesenangan atau kesewenang-wenangan, tetapi pemikiran, perhitungan, perencanaan dan perjuangan yang sangat jelas agendanya.
Teater Indonesia cukup banyak aksi tetapi kekurangan perenungan. Kini kita memerlukan kyai-kyai teater. Para pengamat, pemikir dan saksi. Para pemerhati itulah yang akan memberikan tafsiran jernih dan membawa kehidupan teater urban, tidak sesat perjalanannya, karena ditidih sebagai barang sesat. Teater urban adalah spesies yang waras dan utuh dengan segala keunggulan, kekurangan dan cacadnya tentu saja.
Teater adalah refleksi dari eksistensi kita dan peta dari era yang sedang kita jalani. Bukan teater itu yang harus kita ragukan tetapi diri kita sendiri. Barangkali kitalah yang belum mampu memainkan peran kita dengan pas sebagai penduduk kota. Bukan teater urban yang harus kita bawa ke dokter untuk diperiksa kesehatan jiwa-raganya, tetapi kita yang menyaksikan teater itu. Apakah kita sanggup untuk menikmati dan menempatkan posisinya sebagaimana kodratnya dan bukannya memperkosa dengan standar baku kita.

Posting Komentar

Please Select Embedded Mode To Show The Comment System.*

Lebih baru Lebih lama